Kehidupan kadang diatas kadang dibawah, kadang manis kadang pahit. Kadang tidak kadang iya. Ya, itulah yang dinamakan dengan kehidupan. Kita bisa belajar dari mereka yang selalu bersyukur karena kita memang mungkin tak pernah memiliki segalanya, tapi setidaknya kita tak pernah tak punya apa-apa.
26/05/11
Penari Seblang Yang Putus Sekolah Karena Tidak Ada Biaya
Upacara Adat Kebo-Keboan
Me & Angie
25/05/11
In Memoriam Pembuat Kamus Bahasa Using Hasan Ali
24/05/11
Prosesi Ritual Meras Gandrung di Kemiren Banyuwangi
Menapaki Bromo Seorang Diri
18/05/11
Pendakian Indah di Gunung Ijen
Gunung merupakan salah satu tempat favoritku sejak kecil. Terlahir dari orang tua yang sangat mencintai alam. Aku pun dikenalkan, gunung Ijen yang terletak di dekat tempat lahirku. Sejak saat itu, setiap liburan masa kuliah aku selalu menyambangi gunung Ijen yang selalu membuatku jatuh cinta.
Perjalanan menuju Ijen, aku bersama tujuh orang kawanku yang tergabung dalam Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi Malang (KPMBM) tidak mudah. Berangkat dari Banyuwangi kami menaiki mobil hartop. Cuaca saat itu, sangat tidak bersahabat. Beberapa bulan ini, mendung dan hujan selalu menyelimuti Banyuwangi. Gunung Ijen pun selalu mendung. Keelokan dan kecantikan kawahnya tertutup mega.
Namun demikian, kami tetap memutuskan untuk berangkat ke gunung ijen. Dengan perbekalan yang cukup, kami melanjutkan perjalanan pukul 14.00.
Jalan akses dari Banyuwangi ke gunung ijen masih banyak jalan yang lubang dan berbatu. Namun, bisa dilewati berbagai jenis kendaraan. Bahkan kendaraan roda 2 dapat dengan mudah melewatinya. Hal itu karena jalan disepanjang pintu masuk yang berada di desa jambu ke kawasan wisata gunung ijen sampai dengan pos terakhir di Paltuding sudah beraspal.
Jarak yang kami tempuh kurang lebih 45 km. Dari Jambu perjalanan dilanjutkan menuju Paltuding. Paltuding merupakan Pintu gerbang utama ke Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen, yang juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam).
Kami pun tiba di Gunung Ijen, yang menyimpan seribu keindahan. Kawah ijen yang berada di ketinggian 2.386m dpl, merupakan kawah danau terbesar dipulau jawa, kawah berbentuk ellips dengan ukuran kurang lebih 960 x 600 m dengan ketinggian permukaan air danau kurang lebih 2140 m dpl dengan kedalaman danau kurang lebih 200 m.
Kawah belerang berada dalam sulfatara yang dalam. Kedalamannya 200 m dan mengandung kira-kira 36 juta meter kubik air asam beruap, diselimuti kabut berbau belerang yang berputar-putar diatasnya. Didalam kawah, berbagai warna dan ukuran batu belerang dapat ditemukan. Sungguh, kawah ijen merupakan taman batu belerang yang indah.
Pemandangan menjadi sangat berbeda, ketika dari celah celah tebing curam terlihat begitu banyak para penambang belerang yang naik turun di sela-sela lereng kawah. Sekitar kurang lebih 100 orang membawa bebatuan kekuning-kuningan yang diatas pundaknya terlentang sebatang bambu dengan sejenis keranjang bambu yang dipenuhi puluhan kilogram belerang didalamnya yang tergantung disisi kanan kirinya.
Beban yang dipikul memiliki berat yang beragam mulai 80 kg sampai dengan 120 Kg. tiap orang mondar-mandir, menggali belerang, naik turun, menuruni lereng beberapa kilometer sebelum beban dijual dipelelangan, dalam sehari dapat terkumpul belerang berkisar 6 sampai 7 ton. Namun, mereka tidak pernah mengeluh sedikitpun. Mereka terus bekerja, walau resiko yang mereka terima cukup besar. Demi sesuap nasi, mereka sudah bertahun tahun bekerja sebagai penambang belerang.
Setelah beristirahat, kami mendirikan tenda. Sambil menunggu tengah malam tiba. Sayangnya, dua temanku Titis dan Wiwit tidak bisa ikut naik ke puncak gunung ijen. Titis mengalami kram perut.
Kami pun mempersiapkan perbekalan untuk mendaki puncak gunung ijen 2.386m dpl. Setelah makan di warung langganan para penambang belerang dan mendaftar di kantor pengelola Kawah Ijen, kami langsung trekking ke Kawah Ijen. “3 km by foot,” begitu tertulis di Pos Paltuding.
Tepat pukul 01.00 dini hari kami bersiap. Aku pun sudah mempersiapkan ranselku. Jaket kuning merupakan jaket favoritku ketika menaiki gunung. Warna cerah, sangat menguntungkan lho. Ketika kita tersesat di dalam hutan.
Pendakian malam itu, ternyata tidak mudah. Cuaca sangat tidak bersahabat. Impianku untuk menyaksikan sunset musnahlah sudah. Dari Paltuding berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 3 km. Lintasan awal sejauh 1,5 km cukup berat karena menanjak.
Sebagian besar jalur dengan kemiringan 25-35 derajat. Selain menanjak struktur tanahnya juga berpasir sehingga menambah semakin berat langkah kaki karena harus menahan berat badan agar tidak merosot ke belakang.
Perlahan kami berjalan menyusuri jalan tanah lebar yang menghubungkan Paltuding-Kawah Ijen. Nafas saya tersengal-sengal karena sudah lama tidak trekking. Jogging dan renang juga sudah lama tidak kulakukan. Namun tidak begitu halnya dengan para penambang belerang. Semua penambang yang berpapasan dengan saya, baik sedang naik ataupun turun, melangkah dengan mantap. Napasnya sestabil langkahnya. Padahal mereka turun sambil memikul dua buah keranjang yang penuh oleh bongkah belerang.
Setelah sempat beristirahat sebentar di Pos Bunder, dalam waktu dua jam kami sampai di bibir kawah. Akhirnya, kami pun tiba di dan beristirahat di Pos Bunder ( pos yang berbentuk lingkaran) yang dibangun masa pemerintah Hindia Belanda berbentuk setengah lingkaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut bunder sehingga dinamakan pos Bunder.
Kami tidak bisa menyaksikan pemandangan deretan pegunungan yang sangat indah. Untuk turun menuju ke kawah harus melintasi medan berbatu-batu yang lumayan terjal sejauh 250 meter. Terpeleset dan jatuh, menjadi santapanku. Licin!!!!
Tapi aku tetap semangat untuk mendaki gunung ijen. Tidak bertemu sunset, tidak masalah yang penting hasratku untuk menyambangi ijen sudah terlaksana. Bunga edelweis juga dapat ditemui di sepanjang bulan juli sampai September. Sayangnya, bunga abadi ini tidak kulihat karena cuaca pagi itu sangat gelap.
“Tidak bisa turun ke kawah, Dek,” ujar salah seorang penambang ketika tadi berpapasan di tikungan terakhir.
“Asap belerangnya terlalu tebal.”teriak salah satu penampang belerang.
Peringatan dari penambang itu tidak saya hiraukan. Bukan apa-apa, aku kangen sekali dengan harum kawan Ijen. Sekedar kabut, dan asap belerang tebal tidak akan mampu menghalangi keinginan kami untuk melihat ijen dari dekat.
Tidak hanya itu, kamera yang kubawa juga nyaris rusak karena terlalu dingin. Aku pun berdiam diri sambil memegangi baterai kameraku. Dan terus berdoa supaya kamera pocketku bisa digunakan. Pastinya, untuk mengabadikan perjalanan indah ini.
Badai dan hujan deras tidak menyurutkan niat kami untuk turun kekawah. Sambil menunggu hujan reda. Kami menunggu di dalam pos bunder. Disana kami bertemu dengan para pendaki. Bersahabatan, bisa dimulai dimana saja dan kapan saja.
Perjalanan indah, bersama Dadang, Doni, Datu dan Agus.
Pendakian yang mengajarkan kami untuk mencintai alam semesta raya. Gunung Ijen, kami akan selalu mengingat keindahanmu.
Pesona Hutan Mangrove Bedul Perawan
Mendengar saja membuatku tertarik, untuk mengikuti perjalanan menuju hutan Mangrove yang terletak di Dusun Bloksolo Desa Sumberasri Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi. Berbagai persiapan pun aku lakukan, terutama seperangkat kameraku yang sudah kubersihkan dan siap untuk ’perang’ mengabadikan moment indah disana.
Hutan mangrove itu menaungi perairan Blok Bedul. Blok Bedul merupakan daerah hilir dari DAS Stail. Aliran sungai itu membentuk rawa air payau. Warga sekitar menyebut kawasan ini dengan segara anakan.Wilayah ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Wisata Mangrove Bedul memang terletak di tengah-tengah antara pantai Grajagan dan Purwo serta Plengkung (G-Land).
Dona Using dan Mr. Aekanu sudah bersiap untuk melakukan perjalanan ini. Dari tempat tinggalku, lokasi hutan magrove ini lumayan jauh. Kurang lebih 2 jam.
Pemandu lainya, yang tidak lain adalah karang taruna desa juga sudah menunggu. Selain itu, Japan International Cooperation Center (JICA), yang juga tergabung dalam tim perjalanan ini sudah menunggu disana desa bloksolo.
Setibanya di dusun bloksolo, kami berkumpul di kantor kepala desa untuk persiapan pemberangkatan. Setelah itu, kita melanjutkan perjalanan ke Hutan Mangrove.
Untuk sampai ke hutan Mangrove, Desa Bloksolo Desa Sumberasri, Kecamatan Purwoharjo, kita harus terlebih dahulu menyusuri areal pertanian yang cukup luas. Mulai dari kebun jeruk dan hasil pertanian lainnya, tumbuh subur di wilayah tersebut. Suasananya sangat segar dan tidak ada lalu lalang kendaraan, hanya terlihat para buruh pertanian yang menaiki sepeda othel berada di sekitar lokasi tersebut.
Setibanya di jalan masuk desa wisata itu, dua mobil yang kami gunakan pun diparkir. Karena, untuk menuju kawasan mangrove jalan yang dilalui cukup sulit dan berliku hanya bisa dilewati menggunakan kendaraan roda dua. Bahkan, untuk menuju ke perahu yang kita gunakan untuk keliling hutam magrove perlu stamina yang cukup. Jalan lumpur harus kita lalui dengan hati – hati. Bahkan, tidak sedikit yang tidak memakai sandal.
Para pekerja desa wisata sudah menyiapkan kendaraan roda dua yang akan kami gunakan. Setelah siap, semuanya pun berangkat menuju kawasan mangrove. Saya, Aekanu Haryono staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dona using sebagai guide sekaligus pecinta alam Banyuwangi dan Gigih Komunitas Fotografi Banyuwangi bersama 10 orang karang taruna kawasan mangrove, enam penggurus desa wisata, dan tiga orang dari Japan International Cooperation Center (JICA) Oktovina Trisia Windrati assistant expert of training sub sectoral program on mangrove project JICA, Roy Pahala dan Jaka harus bersabar melalui jalan berliku.
Sejauh mata memandang, semua terlihat sangat indah dan menyejukkan mata. Hutam magrove yang sangat indah, burung elang yang memiliki sayap yang cantik mulai menampakkan keanggunannya. Selain itu, di kawasan mangrove juga ditemui pencari ikan. Yang memakai perlengkapan selam seadanya. Tanpa memakai pengaman kaki dan pelindung pernafasan mereka terlihat asyik dan santai.
Setelah melalui jalan berliku akhirnya kita pun tiba. Pemandangan yang indah di Pantai Wisata Bedul Alas Purwo membuat saya ingin mengabadikan pemandangan tersebut. Perahu dengan berbagai ukuran pun terparkir di kawasan tersebut. Memasuki areal tersebut, saya harus berjalan sangat hati-hati. Jalanya licin dan berlumpur. Sebagian dari kita menggunakan sepatu boot, dan sepatu karet. Yang tidak kebagian terpaksa menitipkan sandal dan sepatunya di rumah penduduk sekitar.
Saya pun terpaksa bertelanjang kaki karena tidak kebagian sepatu boot. Daripada terjatuh mendingan bertelanjang kaki. Tanpa beristirahat, kita langsung melanjutkan perjalanan berikutnya. Yakni menyusuri hutan mangrove menggunakan gethek (perahu dari kayu). Perahu berukuran besar, sudah disediakan.
Beberapa nelayan di sekitar lokasi tersebut, hanya melihat kedatangan kita. Mereka juga tersenyum, ketika saya mengabadikan gambarnya ketika dia berada diatas perahu. Pak Usman sopir gethek, sudah berteriak agar semuanya bersiap untuk berangkat. Mesinnya sudah berbunyi dan kita berangkat. Selama perjalanan menuju Gudang Seng, Oktovina tidak henti-hentinya menjelaskan spesies mangrove yang tumbuh subur di daerah tersebut.
Ombak pasang dan hembusan angin kencang tidak menyurutkan semangat kita, menuju Gudang Seng kawasan mangrove yang memiliki banyak spesies. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 kilometer, akhirnya kita tiba di sana. Perahu yang sudah rusak dalam keadaan terparkir dan terlihat sebuah gubuk yang rusak yang menjadi tanpa kita sudah tiba di tempat tujuan.
Setibanya disana guide atau pemandu langsung mencari salah satu spesies mangrove. Mereka berpencar masuk ke pedalaman kawasan mangrove. Selama 15 menit, mereka mencari apa yang sudah diperintahkan oleh Oktovina.
Selama 15 menit, akhirnya mereka kembali membawa tumbuhan mangrove. Usai berjalan kaki menyusuri kawasan pedalaman mangrove, kita pun kembali. Selama istirahat kita, sempatkan untuk memotret kawasan tersebut. Disana kita juga menemukan berbagai spesies hewan seperti Uka kepiting kecil berwarna merah, kepiting pendaki, kerang dan lainnya.
Ada empat jenis bibit yang ditanam yakni Sonneratea Casiolaris, Cariops Sp, Bruguera Sp dan Rizhophora Sp.
Waktupun begitu cepat berlalu. Kita harus kembali ke Pantai Wisata Bedul. Setelah semuanya siap naik dan berangkat, nasib baik tidak berpihak kepada kita. Gethek yang kami naiki macet dan tidak bisa berjalan. Air laut pun pasang. Perahu Mogok dan Perahu Nyaris Dihantam Ombak Pasang
Rupanya mempersiapkan Desa Wisata Mangrove tidak semudah yang dibayangkan. Kita harus siap dengan berbagai kemungkinan sore itu. Tidak bisa kembali pulang alias menginap di areal hutan. Dengan bekal yang sangat terbatas. Atau kembali pulang dengan selamat.
Sore itu rupanya dewi Fortuna tidak berpihak kepada kita. Meski semuanya sudah siap diatas gethek namun mesin tidak bisa berbunyi hingga 30 menit. Sebagian dari kita pun sempat panik dan tidak sedikit dari kita yang berdoa. Menghilangkan kepanikan, Okto membuat tebak-tebakan untuk mengilangkan kepanikan. Sedangkan pak Usman, bekerja keras untuk berusaha menghidupkan mesin.
Sayangnya, mesinya pun tidak bisa hidup malahan mesinya mengeluarkan asap dan percikan api. Aku sudah berfikir untuk kemungkinan yang terburuk, bahwa harus menginap di hutan magrove dan harus kencangkan ikat pinggang. Karena, bekal yang sangat sedikit itu harus dibagui dengan banyak orang.
Kita pun berusaha untuk tidak panik. Sembari terus berdoa. Setelah, didiamkan beberapa saat dan dihidupkan kembali akhirnya gethek bisa hidup. Kita semua langsung bertepuk tangan. Saya pun bisa tersenyum kembali dan mengucap syukur. Wajah Pak Usman yang tadinya tegang dan tidak bisa tersenyum, sekarang bisa tersenyum lepas bahkan tertawa terbahak bahak melihat perahunya bisa dihidupkan lagi.
Diatas ombak yang pasang, Gethek berputar haluan, dan melanjutkan perjalanan kembali ke desa bloksolo. Selama perjalanan selain menikmati pemandangan mangrove kita juga melihat burung Elang laut perut putih (Haliaeetus Leucogaster) yang berterbangan di atas kita. Berbagai kekayaan keaneka ragaman tersimpan di hutan bedul. Tidak salah, rupanya aku mengatakan hutan mangrobe bedul sebagai surga dunia di Banyuwangi.
Tidak hanya itu, kita juga menyaksikan para nelayan mencari kerang dengan peralatan yang sangat sederhana. Mereka melambaikan tangan, ketika kita melewati mereka. Ombak pun semakin besar, gethek yang kita naiki nyaris terhempas ombak. Aku langsung memegang erat kameraku. Maklum, belum memiliki pelindung kamera anti air.
Selain melindungi kamera, tanganku saling berpegangan dengan Sri. Maklum, perahu gethek tidak memiliki pelindung seperti pelampung. Dan tidak semua, tim yang ikut perjalanan ini bisa berenang. Lagi – lagi, jantungku berdetak kencang namun semua itu sangat menyenangkan. Kita semua bisa menikmati perjalanan yang indah ini. Meski, adventure yang kita lakukan sangat menegangkan.
Sri salah satu tim langsung menangis histeris. Raut wajahnya langsung memerah dan air matanya langsung berlinang di pipi. Pasalnya, air sudah masuk kedalam gethek. Goyangan ombak begitu keras menghantam gethek. Pucat pasi, itulah wajahku saat itu. Namun, aku berusaha untuk tenang dengan memainkan kameraku dan mengabadikan semua yang kulihat dengan mataku.
Setelah ombak tidak lagi pasang, gethek berlabuh seperti biasanya. Dan akhirnya kita pun sampai di pantai Bedul. Setibanya disana, kita berjalan kaki untuk sampai di desa bloksolo. Air pasang setinggi lutut orang dewasa, kita pun berjalan dengan sangat hati-hati.
Suatu perjalanan yang sangat menegangkan sekaligus menyenangkan. Tx to Mr. Aekanu dan Dona Using 4 the Adventure.