26/05/11

Penari Seblang Yang Putus Sekolah Karena Tidak Ada Biaya


GENERASI : Suidah duduk bersama neneknya Yuni yang dulunya juga menjadi penari seblang

Keturunan dan masih perawan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seluruh penari seblang dari masa ke masa. Suidah, 13, penari seblang 2009 ini, merupakan keturunan dari penari seblang Suidah 1960 – 1963. Sayangnya, selama ini penari seblang selalu remaja yang putus sekolah karena masalah ekonomi. Pemkab Banyuwangi pun rupanya tidak pernah mempedulikan. Padahal, seblang sudah menjadi agenda tahunan budaya Banyuwangi.
Suara angklung paglak terdengar sayup – sayup ditelingga masyarakat sekitar Desa Olehsari kecamatan Glagah. Suara angklung paglak yang berada di pinggir jalan raya Ijen itu merupakan tanda bahwa desa tersebut sedang punya gawe.
Kalangan bapak – bapak dan pemuda desa, mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk pentas yang akan digunakan untuk penari seblang.
Jarak dari pentas seblang ke rumah Suidah, 13, yang merupakan penari terpilih tahun 2009 ini cukup jauh. Setelah melewati gang kecil, lalu memasuki jalan setepak sejauh 200 meter terlihat sebuah bangunan rumah yang sangat sederhana dan terbuat dari gedek.
Di depan rumah tersebut, terlihat Suidah dan nenek kesayanganya Yuni, 80, yang tidak lain adalah mantan penari seblang tahun 1960 – 1963. Mereka terlihat berbincang – bincang santai. Sesekali mereka bersenda gurau.
Anak pasangan Sahe, 48, dan Alm. Sunaiyah ini sejak usia 7 bulan memang diasuh oleh Yuni. Sekarang Suidah tinggal bersama neneknya dan kakak kandungnya Hariyanto. Sehari – hari, Suidah hanya membantu neneknya di rumah yang sangat sederhana itu. Dia sudah nganggur selama dua tahun.
Maklum, Suidah yang hanya lulusan SD Olehsari tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Karena, keterbatasan biaya maka Suidah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Padahal, dari lubuk hatinya yang paling dalam Suidah sangat ingin sekolah ke tingkat SMP. ’’Sebetulnya, saya ingin sekali sekolah. Apalagi kalau melihat teman – teman bersekolah. Rasanya pengen nangis,’’ kata gadis kelahiran 1996 itu.
Suidah hanya bisa merenungi nasibnya dan merasa tidak ada yang harus dia lakukan. Dia mengatakan mau bekerja tapi mana ada yang menerima lulusan SD. Kendati demikian, Suidah tidak pernah mau berpangku tangan. Sesekali, dia membantu neneknya membersihkan rumah.
Namun begitu terpilih menjadi penari seblang, dia langsung terlihat bahagia. Karena, dengan menjadi penari selama tujuh hari berturut – turut membuat gadis berambut panjang itu memiliki aktifitas. Meskipun, dia harus kesurupan selama menari. Namun, hal itu sama sekali tidak membuatnya keberatan. ’’Kalau sudah terpilih ya harus mau, namanya juga masih keturunan,’’ katanya.
Selama menjadi penari, Suidah harus menari selama lima jam dalam kondisi tidak sadar. Memakai omprog, kemben dan sewek dia harus menari berkeliling pentas. Memasuki ritual tundik, dia melempar selendang ke arah penonton. Siapa yang menerima selendang itu, dia yang harus menari bersama Suidah.
Suidah mengatakan sebelum memakai omprog, dirinya masih keadaan sadar. Namun, apabila sudah bau dupa dan memakai omprog dia terasa didatangi oleh seorang perempuan cantik. Memakai kemben berwarna hijau dan sewek serta memakai selendang yang dibalutkan ke pinggulnya. ’’Setelah itu, saya tidak ingat lagi. Pokoknya seperti orang jalan –jalan tapi tidak sampai - sampai,’’ katanya.
Setelah menari, Suidah seringkali merasa capek. Namun, hal itu tidak dia rasakan. Yang paling penting, menurutnya adalah agar desanya terbebas dari marabahaya dan selalu dilindungi oleh Tuhan apabila menggelar ritual adat Seblang.
Sementara itu, Yuni menceritakan bahwa sudah menjadi kewajiban seorang anak gadis di desa itu menjadi penari seblang. Dirinya dulu juga demikian, harus mau dan melakoni apa yang sudah menjadi tradisi adat di desa tersebut. Selama menjadi penari seblang, dia dulu juga putus sekolah. ’’Kadong bengen, mulo sitik wong hang sekolah (kalau zaman dulu, orang bersekolah itu masih sedikit). Kadong saiki akeh, isun sekaken ambi Suidah kepengen sekolah (kalau sekarang orang yang sekolah sudah banyak. Saya kasihan melihat suidah yang ingin bersekolah,’’ katanya.
Menurutnya, apabila sudah terpilih menjadi penari seblang otomatis akan bisa kerasukan roh halus dengan sendirinya. Yang penting, nerimo dan ikhlas apabila terpilih menjadi penari seblang.
Namun, apalah daya keterbatasan ekonomi membuat Yuni tidak bisa menyekolahkan Suidah ke jenjang SMP. Padahal, sebagai seorang nenek dia memiliki keinginan untuk menyekolahkan Suidah. ****

Upacara Adat Kebo-Keboan





Banyuwangi tanah kelahiran ku yang memiliki berbagai macam seni budaya. Salah satunya, Kebo –keboan yang diselenggarakan di Di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.
Kebo-keboan sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Ritual kebo-keboan untuk meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka yang akan menimpa tanaman.
Ritual ini, sudah dimulai sejak jaman nenek moyang. Kapan tepatnya, dilakukan sampai kini belum ada yang mengetahuinya secara pasti. Konon, ritual ini dilakukan secara turun-temurun di kalangan masyarakat Krajan.
Semuanya berawal ketika Dusun Krajan mengalami pagebluk, atau timbulnya berbagai macam hama penyakit yang menyebabkan kematian tanaman pertanian. Mengakibatkan semua petani mengalami gagal panen. Untuk mengatasi bencana tersebut, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang bernama Buyut Karti mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah.
Ternyata ritual tersebut mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Akhirnya, ritual yang kemudian dinamakan kebo-keboan itu dilakukan secara rutin setiap tahun sekali.
Ritual adat kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Suro. Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur). Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: Selamatan di Petaunan, tahap ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan dan tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.
Pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider bumi dan kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur.
Ritual ini, dilakukan tidak ala kadarnya.
Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi.
Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.
Keesokan harinya sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sebagai catatan, sebelum tahun 1965 pelaksanaan ider bumi tidak hanya mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan saja, melainkan juga ke arah batu besar yang ada di empat penjuru angin yang diawali dengan berjalan ke arah timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat menuju Watu Karang, lalu ke selatan menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju Watu Naga.
Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Dusun Krajan.
Jika dicermati ritual kebo-keboan mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius.

Me & Angie

Wanita yang satu ini, membuat aku kagum. Cantik dan Enerjik. Dermawan dan baik hati. Angelina jolie. salah satu aktris hollywood yang lincah. Tidak ada salahnya, meski tidak pernah bertemu langsung, aku bisa berpose denganya. Lucu kan?

25/05/11

In Memoriam Pembuat Kamus Bahasa Using Hasan Ali


Hasan Ali seorang budayawan Banyuwangi yang getol melestarikan budaya dan bahasa Banyuwangi yakni Bahasa Using. Memasuki usianya yang ke 76, dia harus berjuang keras melawan penyakit kencing manis yang sudah dia derita 20 tahun yang menyebabkan kebutaan, paru – paru dan ginjal yang sudah satu tahun diidapnya.

Rumah yang terletak di Desa Mangir kecamatan Rogojampi, tampak sepi. Pintu pagar berwarna hijau itu tertutup rapat. Jarum jam menunjukkan pukul 09.00. Begitu memasuki rumah tersebut, tampak beberapa buku di meja ruang tamu.
Komputer bantuan Jepang tahun 2000 silam, tertutup rapi di dekat meja kerjanya. Televisi berukuran 21 inci itu tampak menyala. Namun, ruang tamu itu tampak kosong. Tidak ada satu orang pun yang menyaksikan televisi tersebut. Di depan pintu kamar berwarna coklat, tampak sebuat tulisan ’Hadir dan Mengalir’ dibawah tulisan tersebut ada tanda tangan WS. Rendra 1998. Di dalam kamar itulah, kini Hasan Ali, 76, berbaring lemas.
Menggunakan kaos berwarna putih dan celana pendek, dia berbaring seorang diri. Kulit kaki dan tangannya yang sangat keriput hanya terbalut dengan kain sarung bermotif kotak – kotak. Di samping tempat tidurnya, terlihat kursi roda. Di meja kecil, terdapat berbagai obat – obatan. Begitu wartawan koran ini masuk dan duduk disampingnya, Hasan Ali langsung terbangun. ’’Siapa itu,’’ katanya sambil membuka matanya meski tidak bisa melihat.
Begitu wartawan koran ini, bersalaman denganya dan menyampaikan maksud kedatangan dia tampak bersemangat. Meski pun, berbicaranya dengan terpatah – patah.
Maklum, selama satu tahun dia harus melawan penyakit kencing manis yang 20 tahun lalu dia derita hingga menyebabkan kebutaan. Kebutaan itu membuat pria kelahiran 3 Desember 1933 itu sangat terpukul. Karena, hobinya dulu adalah membaca. Bahkan, koleksi buku yang dimilikinya berjumlah ribuan dan sampai saat ini masih tersimpan rapi di dalam beberapa lemari yang terletak di salah satu kamar di rumahnya.
Berobat di berbagai Rumah Sakit pun sudah dia lakoni. Hingga berobat ke RS Dr. Soetomo Surabaya. Namun, semuanya sia- sia. Dan di masa tuanya kini, dia harus bertahan dengan kebutaan yang dia alami. ’’Siksaan yang paling berat buat saya adalah kebutaan ini,’’ katanya.
Meski buta, namun budayawan Banyuwangi itu tidak lantas menyerah begitu saja. Dia selalu mendengarkan radio terkait perkembangan budaya di Banyuwangi. Karena, sejak usia belasan tahun dia sudah menyukai budaya dan seni Banyuwangi. Saat itu, dia sudah memiliki grup musik.
Hingga lulus di bangku SMA, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Airlangga fakultas hukum. Namun, keterbatasan biaya mengharuskan dia berhenti di tahun 1959. Meski tidak bisa melanjutkan pendidikanya, namun dia terus mempelajari dan menekuni kesenian dan kebudayaan daerah Banyuwangi, khususnya dalam bidang Bahasa Using. Dialah yang menyusun pedoman umum ejaan bahasa using, tata bahasa baku bahasa using. Hingga dia berhasil menciptakan kamus Bahasa Using.
Masyarakat Banyuwangi mengenal sosok Hasan Ali adalah orang yang tak kenal lelah dalam upaya mengangkat derajat dan harkat Bahasa Using. Semasa sehat dulu, dia menjadi pemprakarsa Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan menjadi ketua DKB selama 20 tahun berturut – turut.
Kedekatanya dengan masyarakat Using membuat, dia mendapatkan julukan Kamus Berjalan Budaya. Hingga berbagai penghargaan dia terima, hadiah seni jawa Timur sebagai pembina kesenian daerah oleh Kakanwil Depdikbud Jawa Timur tahun 1978, Hadiah seni sebagai pembina kesenian dan kebudayaan daerah oleh pemkab tahun 1997, Penghargaan dari gubernur Jawa Timur Imam Utomo sebagai penggerak Kesenian tahun 2000 dan berbagai kegiatan kesenian baik lokal, regional maupun nasional.
Seluruh penghargaan itulah yang menjadi kekuatan Hasan Ali hingga saat ini. Yang dulunya setiap hari bisa menulis dan menulis, saat ini setiap hari dia hanya mengkonsumsi puluhan obat – obatan. Untunglah, untuk makan dia tidak mengalami kesulitan. Kesukaanya, mengkonsumi kopi tidak bisa dia hilangkan hingga kini. ’’Paling satu hari, hanya satu gelas kecil. Tombo kepengen,’’ katanya.
Anjuran dari dokter, tetap dia lakukan. Misalnya, menjaga makanan dan meminum obat. Mengikuti perkembangan seputar budaya dan kesenian Banyuwangi , menurutnyam, adalah obat yang paling mujarab. ’’Kalau bisa budaya dan seni Banyuwangi tetap dipertahankan. Hal itulah yang membuat suatu daerah dikenal,’’ katanya.
Dia berharap kesenian dan kebudayaan Banyuwangi bisa tetap maju, apalagi keikuit sertaan generasi muda harus bisa membantu terwujudnya hal tersebut. Selain itu, Pemimpin Banyuwangi harus memahami dan mengerti budaya Banyuwangi. ’’Bagaimana caranya memimpin, kalau tidak mengenal budaya Banyuwangi,’’ katanya saat itu.
Sekarang kakekku, sekaligus panutanku itu sudah tiada. Meninggalkan kami semua, meninggalkan semua yang telah dia lakukan untuk tanah kelahiran kami. Blambangan. Kakek, hingga saat ini kami dan BLAMBANGAN masih membutuhkanmu. Masih menginginkanmu untuk tetap berada di tengah tengah kita. Tapi, Takdir berkata lain. Engkau telah pergi, Ilmumu pasti sangat berarti bagi BANYUWANGI dan kita semua. Semoga Amal ibadahmu diterima disisiNYA. Amin


24/05/11

Prosesi Ritual Meras Gandrung di Kemiren Banyuwangi















Menjadi seorang penari gandrung, yang merupakan tarian khas Banyuwangi ternyata tidak semudah yang dibayangkan banyak masyarakat pada umumnya. Setelah melewati latihan selama satu tahun, calon penari harus melewati ritual meras gandrung atau penobatan penari gandrung baru.
Bagaimanakah prosesinya?

Suasana kediaman penari gandrung senior Temuk, 57 warga desa Kedaleman, Kemiren Kecamatan Glagah Banyuwangi lain dari biasanya. Malam itu, suasana rumahnya terlihat meriah, dengan iringan gending gandrung, hiasan kertas berwarna-warni hingga seluruh warga dari desa Licin hingga Jambu berduyun-duyun mendatangi rumahnya.
Meskipun hujan rintik-rintik, tidak menyurutkan warga untuk menyaksikan acara meras gandrung atau penobatan gandrung baru. Yang dipusatkan di pelataran rumah Temuk.
Tidak hanya itu, bau kemenyan semakin menambah sacral suasana malam itu. Tampak disalah satu meja yang bertaplak merah juga tersedia jenang merah, tumpeng dan satu gelas air santan sebagai persyaratan ritual meras gandrung.
Sedangkan yang akan dinobatkan menjadi penari gandrung baru, dan setelah latihan selama satu tahun yakni Mislatin, 35, Wulandari, 14, Rima Fitri, dan Santi yang masih berusia 13. Dengan wajah berseri-seri mereka menunggu detik-detik yang membahagiakan seumur hidupnya yakni menjadi penari gandrung asli. ‘’Saya sangat senang sekali, karena menjadi penari gandrung asli adalah cita-cita saya,’’ kata Santi.
Sebelum dinobatkan mereka tampil didepan seluruh masyarakat yang menunggunya mulai pukul 17.00. Mereka sangat luwes membawakan tarian topengan dengan iringan gending-gending jawa. ‘’Sudah merupakan tradisi bahwa sebelum meras harus menari topengan dulu,’’ kata Temuk.
Tidak hanya masyarakat sekitar yang hadir menyaksikan ritual meras gandrung, tetapi juga para sesepuh gandrung, sesepuh adat, budayawan Banyuwangi, hingga para orang tua calon gandrung dan sanak keluarganya.
Temuk mengakui jika penari gandrung asli yang sudah melakukan meras gandrung, lain dari pada penari gandrung yang biasanya tampil dalam suatu acara. Karena penobatan tersebut, ditandai dengan penyerahan omprok atau mahkota yang ada di kepala penari gandrung oleh gandrung senior. ‘’Setelah omprok diserahkan maka mereka sudah sah menjadi penari gandrung yang menari selama 24 jam,’’ katanya.
Setelah omprok diserahkan, kepada penari gandrung dengan iringan gending-gending Banyuwangi. Keempat penari gandrung tampil semalam suntuk, mulai gending podo nonton hingga gending penutup pukul 04.00 yakni gending seblangan. Tidak sedikit para tamu yang hadir juga melakukan paju dengan gandrung baru tersebut. ***


Menapaki Bromo Seorang Diri


Perjalanan ku kali ini, merupakan suatu perjalanan yang tidak mungkin aku lupakan seumur hidupku. Seorang diri menapaki jalan terjaln menuju gunung bromo.
Gunung Bromo yang berasal dari bahasa sansekerta atau bahasa jawa kuno: Brahma, salah seorang Dewa utama Agama Hindu memiliki keunikan tersendiri. Sehingga aku tertarik untuk melakukan perjalanan ke sana. Touring menggunakan sepeda motor memang merupakan hobiku. Apalagi saat itu, aku memiliki motor baru.
Liburan kuliah, aku manfaatkan untuk menikmati keelokan gunung bromo yang sudah kubaca dari berbagai situs di internet. Sayangnya, teman teman kost ku tidak bisa bepergian denganku. Mereka pulang kampung, ada yang di Samarinda, Jakarta dan Pacitan. Maklum, liburan mereka pasti kangen masakan rumah.
Aku sempat berfikir untuk tidak berangkat, Karena tidak mungkin, aku berangkat seorang diri ke gunung bromo. Namun, keinginanku rupanya mengalahkan segala-galanya. Dan aku memutuskan untuk pergi seorang diri. Menaiki motor ku.
Berbekal peta, kompas, dan makanan ringan aku pun packing untuk melakukan perjalanan nekat ini. Sebelumnya, aku menservis motorku.
Sabtu pagi, di bulan April tepatnya tanggal 24 pukul 07.00, aku berangkat. Tidak lupa, jas hujan. Perjalanan menuju gunung bromo tidak mudah. Sesekali, aku berhenti istirahat. Tidak hanya, aku juga berkali kali bertanya kepada masyarakat jalan terdekat menuju bromo.
Dari Malang Tumpang – Gubuk Klakah – Jemplang – Tosari – Penanjakan. Berkilo-kilo, akhirnya siang hari aku pun sampai di gunung bromo. Rasa lelahku terbayarkan!! Aku tiba di Cemoro Lawang. Nama cemoro lawang tidak asing lagi bagi para wisatawan yang menyukai wisata gunung. Cemoro Lawang merupakan salah satu jalur untuk menuju ke Taman Nasional Gunung Bromo, Gunung Tengger, dan Gunung Semeru. Untuk menuju ke Cemoro Lawang bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor atau kendaraan umum seperti minibus dan colt bak terbuka. Pintu masuk kawasan Bromo berada di Desa Cemara Lawang (2.200 m di atas permukaan laut) merupakan titik terdekat dengan Bromo. Cemoro Lawang memiliki sarana pendukung antara lain hotel, toko-toko souvenir, persewaan jaket, persewaan jeep dan kuda.
Akhirnya, aku sudah berada di gerbang gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur . Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni kabupaten Probolinggo, Pasuruan,Lumajang , dan Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Maklum, backpacker. Aku pun mencari penginapan dengan harga yang terjangkau. Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keliling bromo. Dan Cemoro Lawang, aku dapat melihat pemandangan Gunung Bromo dan Gunung Batok yang diselimuti kabut serta hamparan lautan pasir yang begitu luas. Bila menuju ke Kawah Gunung Bromo melalui jalur Cemoro Lawang, wisatawan tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan pribadi. Beberapa transportasi yang ditawarkan di Cemoro Lawang untuk menuju ke Bromo antara lain dengan menggunakan jeep, kuda, dan ojek sepeda motor. Aku suka tanntangan dan aku berjalan kaki menuju ke Gunung Bromo melewati padang pasir dan bila menuju ke Puncak Pananjakan terdapat jalur jalan kaki yang ditempuh selama 4 jam.
Perjalanan bertambah berat dengan melewati lautan pasir, matahari tepat berada diatas kepala terasa sangat membakar kulit. Berbeda dengan angin di padang rumput yang terasa panas, udara di padang pasir terasa dingin.
Jalur Jip yang semula terlihat dipadang rumput kini mulai menghilang di lautan pasir, terpaksa aku sendiri jalan yang harus ditempuh. Beruntung sekali tidak ada awan atau kabut sehingga arah jalur dapat diperkirakan.
Semakin menapak ke lautan pasir kaki terasa agak berat melangkah, jalan yang ditempuh adalah mengeliling gunung bromo dari belakang, sehingga agak membingungkan. Dari kejauhan tampak badai pasir yang bergulung-gulung menjulang ke atas. Aku pun segera beristirahat.
Menuju puncak Gunung Bromo ditengah hari yang sangat panas ini cukup melelahkan. Mendekati puncak bromo sudah tercium bau belerang.
Dari puncak bromo tampak kawah Gunung Bromo yang masih aktif , di dasar kawah terlihat warna keemasan belerang dan kepulan asap putih yang menjulang ke atas, menyebarkan bau belerang.
Aku harus menaiki anak tangga yang berjumlah 250 buah untuk menuju puncak Gunung Bromo . Udara dingin dan rendahnya kadar oksigen pada tempat yang tinggi membuat tubuh ku cepat lelah. Akhirnya aku tiba di puncak Gunung Bromo dan bisa menyaksikan kawah Gunung Bromo.
Aku pun meminta tolong wisatawan disana untuk memotretku memakai kamera hp. Sayangnya, film perjalananku seorang diri di Bromo hilang waktu aku selesai kuliah.
Sementara itu, menurut mitos asal usul suku tengger. Dahulu di pulau Jawa di perintah oleh Raja Brawijaya dari Majapahit yang mempunyai anak perempuan bernama Rara Anteng yang menikah dengan Joko Seger, keturunan Brahmana. Ketika terjadi pergolakan di pulau Jawa, sebagian masyarakat yang setia pada agama Hindu melarikan diri ke pulau Bali. Sebagian lainnya menarik diri dari dunia keramaian dan bermukim di sebuah dataran tinggi di kaki Gunung Bromo, dipimpin oleh Roro Anteng dan Joko Seger, jadilah mereka suku Tengger, kependekan dari AnTeng dan SeGer.
Perjalanan yang menyenangkan sekali. Mendapatkan pengalaman dengan melakukan perjalanan seorang diri. Warga tengger yang ramah, warga penyewa kuda yang sangat baik membantu ku dan alam yang sungguh indah. Bromo.



18/05/11

Pendakian Indah di Gunung Ijen



Gunung merupakan salah satu tempat favoritku sejak kecil. Terlahir dari orang tua yang sangat mencintai alam. Aku pun dikenalkan, gunung Ijen yang terletak di dekat tempat lahirku. Sejak saat itu, setiap liburan masa kuliah aku selalu menyambangi gunung Ijen yang selalu membuatku jatuh cinta.

Perjalanan menuju Ijen, aku bersama tujuh orang kawanku yang tergabung dalam Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi Malang (KPMBM) tidak mudah. Berangkat dari Banyuwangi kami menaiki mobil hartop. Cuaca saat itu, sangat tidak bersahabat. Beberapa bulan ini, mendung dan hujan selalu menyelimuti Banyuwangi. Gunung Ijen pun selalu mendung. Keelokan dan kecantikan kawahnya tertutup mega.

Namun demikian, kami tetap memutuskan untuk berangkat ke gunung ijen. Dengan perbekalan yang cukup, kami melanjutkan perjalanan pukul 14.00.

Jalan akses dari Banyuwangi ke gunung ijen masih banyak jalan yang lubang dan berbatu. Namun, bisa dilewati berbagai jenis kendaraan. Bahkan kendaraan roda 2 dapat dengan mudah melewatinya. Hal itu karena jalan disepanjang pintu masuk yang berada di desa jambu ke kawasan wisata gunung ijen sampai dengan pos terakhir di Paltuding sudah beraspal.

Jarak yang kami tempuh kurang lebih 45 km. Dari Jambu perjalanan dilanjutkan menuju Paltuding. Paltuding merupakan Pintu gerbang utama ke Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen, yang juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam).

Kami pun tiba di Gunung Ijen, yang menyimpan seribu keindahan. Kawah ijen yang berada di ketinggian 2.386m dpl, merupakan kawah danau terbesar dipulau jawa, kawah berbentuk ellips dengan ukuran kurang lebih 960 x 600 m dengan ketinggian permukaan air danau kurang lebih 2140 m dpl dengan kedalaman danau kurang lebih 200 m.

Kawah belerang berada dalam sulfatara yang dalam. Kedalamannya 200 m dan mengandung kira-kira 36 juta meter kubik air asam beruap, diselimuti kabut berbau belerang yang berputar-putar diatasnya. Didalam kawah, berbagai warna dan ukuran batu belerang dapat ditemukan. Sungguh, kawah ijen merupakan taman batu belerang yang indah.

Pemandangan menjadi sangat berbeda, ketika dari celah celah tebing curam terlihat begitu banyak para penambang belerang yang naik turun di sela-sela lereng kawah. Sekitar kurang lebih 100 orang membawa bebatuan kekuning-kuningan yang diatas pundaknya terlentang sebatang bambu dengan sejenis keranjang bambu yang dipenuhi puluhan kilogram belerang didalamnya yang tergantung disisi kanan kirinya.

Beban yang dipikul memiliki berat yang beragam mulai 80 kg sampai dengan 120 Kg. tiap orang mondar-mandir, menggali belerang, naik turun, menuruni lereng beberapa kilometer sebelum beban dijual dipelelangan, dalam sehari dapat terkumpul belerang berkisar 6 sampai 7 ton. Namun, mereka tidak pernah mengeluh sedikitpun. Mereka terus bekerja, walau resiko yang mereka terima cukup besar. Demi sesuap nasi, mereka sudah bertahun tahun bekerja sebagai penambang belerang.

Setelah beristirahat, kami mendirikan tenda. Sambil menunggu tengah malam tiba. Sayangnya, dua temanku Titis dan Wiwit tidak bisa ikut naik ke puncak gunung ijen. Titis mengalami kram perut.

Kami pun mempersiapkan perbekalan untuk mendaki puncak gunung ijen 2.386m dpl. Setelah makan di warung langganan para penambang belerang dan mendaftar di kantor pengelola Kawah Ijen, kami langsung trekking ke Kawah Ijen. “3 km by foot,” begitu tertulis di Pos Paltuding.

Tepat pukul 01.00 dini hari kami bersiap. Aku pun sudah mempersiapkan ranselku. Jaket kuning merupakan jaket favoritku ketika menaiki gunung. Warna cerah, sangat menguntungkan lho. Ketika kita tersesat di dalam hutan.

Pendakian malam itu, ternyata tidak mudah. Cuaca sangat tidak bersahabat. Impianku untuk menyaksikan sunset musnahlah sudah. Dari Paltuding berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 3 km. Lintasan awal sejauh 1,5 km cukup berat karena menanjak.

Sebagian besar jalur dengan kemiringan 25-35 derajat. Selain menanjak struktur tanahnya juga berpasir sehingga menambah semakin berat langkah kaki karena harus menahan berat badan agar tidak merosot ke belakang.

Perlahan kami berjalan menyusuri jalan tanah lebar yang menghubungkan Paltuding-Kawah Ijen. Nafas saya tersengal-sengal karena sudah lama tidak trekking. Jogging dan renang juga sudah lama tidak kulakukan. Namun tidak begitu halnya dengan para penambang belerang. Semua penambang yang berpapasan dengan saya, baik sedang naik ataupun turun, melangkah dengan mantap. Napasnya sestabil langkahnya. Padahal mereka turun sambil memikul dua buah keranjang yang penuh oleh bongkah belerang.

Setelah sempat beristirahat sebentar di Pos Bunder, dalam waktu dua jam kami sampai di bibir kawah. Akhirnya, kami pun tiba di dan beristirahat di Pos Bunder ( pos yang berbentuk lingkaran) yang dibangun masa pemerintah Hindia Belanda berbentuk setengah lingkaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut bunder sehingga dinamakan pos Bunder.

Kami tidak bisa menyaksikan pemandangan deretan pegunungan yang sangat indah. Untuk turun menuju ke kawah harus melintasi medan berbatu-batu yang lumayan terjal sejauh 250 meter. Terpeleset dan jatuh, menjadi santapanku. Licin!!!!

Tapi aku tetap semangat untuk mendaki gunung ijen. Tidak bertemu sunset, tidak masalah yang penting hasratku untuk menyambangi ijen sudah terlaksana. Bunga edelweis juga dapat ditemui di sepanjang bulan juli sampai September. Sayangnya, bunga abadi ini tidak kulihat karena cuaca pagi itu sangat gelap.

“Tidak bisa turun ke kawah, Dek,” ujar salah seorang penambang ketika tadi berpapasan di tikungan terakhir.

“Asap belerangnya terlalu tebal.”teriak salah satu penampang belerang.

Peringatan dari penambang itu tidak saya hiraukan. Bukan apa-apa, aku kangen sekali dengan harum kawan Ijen. Sekedar kabut, dan asap belerang tebal tidak akan mampu menghalangi keinginan kami untuk melihat ijen dari dekat.

Tidak hanya itu, kamera yang kubawa juga nyaris rusak karena terlalu dingin. Aku pun berdiam diri sambil memegangi baterai kameraku. Dan terus berdoa supaya kamera pocketku bisa digunakan. Pastinya, untuk mengabadikan perjalanan indah ini.

Badai dan hujan deras tidak menyurutkan niat kami untuk turun kekawah. Sambil menunggu hujan reda. Kami menunggu di dalam pos bunder. Disana kami bertemu dengan para pendaki. Bersahabatan, bisa dimulai dimana saja dan kapan saja.

Perjalanan indah, bersama Dadang, Doni, Datu dan Agus.

Pendakian yang mengajarkan kami untuk mencintai alam semesta raya. Gunung Ijen, kami akan selalu mengingat keindahanmu.

Pesona Hutan Mangrove Bedul Perawan



Mendengar saja membuatku tertarik, untuk mengikuti perjalanan menuju hutan Mangrove yang terletak di Dusun Bloksolo Desa Sumberasri Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi. Berbagai persiapan pun aku lakukan, terutama seperangkat kameraku yang sudah kubersihkan dan siap untuk ’perang’ mengabadikan moment indah disana.

Hutan mangrove itu menaungi perairan Blok Bedul. Blok Bedul merupakan daerah hilir dari DAS Stail. Aliran sungai itu membentuk rawa air payau. Warga sekitar menyebut kawasan ini dengan segara anakan.Wilayah ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Wisata Mangrove Bedul memang terletak di tengah-tengah antara pantai Grajagan dan Purwo serta Plengkung (G-Land).

Dona Using dan Mr. Aekanu sudah bersiap untuk melakukan perjalanan ini. Dari tempat tinggalku, lokasi hutan magrove ini lumayan jauh. Kurang lebih 2 jam.

Pemandu lainya, yang tidak lain adalah karang taruna desa juga sudah menunggu. Selain itu, Japan International Cooperation Center (JICA), yang juga tergabung dalam tim perjalanan ini sudah menunggu disana desa bloksolo.

Setibanya di dusun bloksolo, kami berkumpul di kantor kepala desa untuk persiapan pemberangkatan. Setelah itu, kita melanjutkan perjalanan ke Hutan Mangrove.

Untuk sampai ke hutan Mangrove, Desa Bloksolo Desa Sumberasri, Kecamatan Purwoharjo, kita harus terlebih dahulu menyusuri areal pertanian yang cukup luas. Mulai dari kebun jeruk dan hasil pertanian lainnya, tumbuh subur di wilayah tersebut. Suasananya sangat segar dan tidak ada lalu lalang kendaraan, hanya terlihat para buruh pertanian yang menaiki sepeda othel berada di sekitar lokasi tersebut.

Setibanya di jalan masuk desa wisata itu, dua mobil yang kami gunakan pun diparkir. Karena, untuk menuju kawasan mangrove jalan yang dilalui cukup sulit dan berliku hanya bisa dilewati menggunakan kendaraan roda dua. Bahkan, untuk menuju ke perahu yang kita gunakan untuk keliling hutam magrove perlu stamina yang cukup. Jalan lumpur harus kita lalui dengan hati – hati. Bahkan, tidak sedikit yang tidak memakai sandal.

Para pekerja desa wisata sudah menyiapkan kendaraan roda dua yang akan kami gunakan. Setelah siap, semuanya pun berangkat menuju kawasan mangrove. Saya, Aekanu Haryono staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dona using sebagai guide sekaligus pecinta alam Banyuwangi dan Gigih Komunitas Fotografi Banyuwangi bersama 10 orang karang taruna kawasan mangrove, enam penggurus desa wisata, dan tiga orang dari Japan International Cooperation Center (JICA) Oktovina Trisia Windrati assistant expert of training sub sectoral program on mangrove project JICA, Roy Pahala dan Jaka harus bersabar melalui jalan berliku.

Sejauh mata memandang, semua terlihat sangat indah dan menyejukkan mata. Hutam magrove yang sangat indah, burung elang yang memiliki sayap yang cantik mulai menampakkan keanggunannya. Selain itu, di kawasan mangrove juga ditemui pencari ikan. Yang memakai perlengkapan selam seadanya. Tanpa memakai pengaman kaki dan pelindung pernafasan mereka terlihat asyik dan santai.

Setelah melalui jalan berliku akhirnya kita pun tiba. Pemandangan yang indah di Pantai Wisata Bedul Alas Purwo membuat saya ingin mengabadikan pemandangan tersebut. Perahu dengan berbagai ukuran pun terparkir di kawasan tersebut. Memasuki areal tersebut, saya harus berjalan sangat hati-hati. Jalanya licin dan berlumpur. Sebagian dari kita menggunakan sepatu boot, dan sepatu karet. Yang tidak kebagian terpaksa menitipkan sandal dan sepatunya di rumah penduduk sekitar.

Saya pun terpaksa bertelanjang kaki karena tidak kebagian sepatu boot. Daripada terjatuh mendingan bertelanjang kaki. Tanpa beristirahat, kita langsung melanjutkan perjalanan berikutnya. Yakni menyusuri hutan mangrove menggunakan gethek (perahu dari kayu). Perahu berukuran besar, sudah disediakan.

Beberapa nelayan di sekitar lokasi tersebut, hanya melihat kedatangan kita. Mereka juga tersenyum, ketika saya mengabadikan gambarnya ketika dia berada diatas perahu. Pak Usman sopir gethek, sudah berteriak agar semuanya bersiap untuk berangkat. Mesinnya sudah berbunyi dan kita berangkat. Selama perjalanan menuju Gudang Seng, Oktovina tidak henti-hentinya menjelaskan spesies mangrove yang tumbuh subur di daerah tersebut.

Ombak pasang dan hembusan angin kencang tidak menyurutkan semangat kita, menuju Gudang Seng kawasan mangrove yang memiliki banyak spesies. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 kilometer, akhirnya kita tiba di sana. Perahu yang sudah rusak dalam keadaan terparkir dan terlihat sebuah gubuk yang rusak yang menjadi tanpa kita sudah tiba di tempat tujuan.

Setibanya disana guide atau pemandu langsung mencari salah satu spesies mangrove. Mereka berpencar masuk ke pedalaman kawasan mangrove. Selama 15 menit, mereka mencari apa yang sudah diperintahkan oleh Oktovina.

Selama 15 menit, akhirnya mereka kembali membawa tumbuhan mangrove. Usai berjalan kaki menyusuri kawasan pedalaman mangrove, kita pun kembali. Selama istirahat kita, sempatkan untuk memotret kawasan tersebut. Disana kita juga menemukan berbagai spesies hewan seperti Uka kepiting kecil berwarna merah, kepiting pendaki, kerang dan lainnya.

Ada empat jenis bibit yang ditanam yakni Sonneratea Casiolaris, Cariops Sp, Bruguera Sp dan Rizhophora Sp.

Waktupun begitu cepat berlalu. Kita harus kembali ke Pantai Wisata Bedul. Setelah semuanya siap naik dan berangkat, nasib baik tidak berpihak kepada kita. Gethek yang kami naiki macet dan tidak bisa berjalan. Air laut pun pasang. Perahu Mogok dan Perahu Nyaris Dihantam Ombak Pasang

Rupanya mempersiapkan Desa Wisata Mangrove tidak semudah yang dibayangkan. Kita harus siap dengan berbagai kemungkinan sore itu. Tidak bisa kembali pulang alias menginap di areal hutan. Dengan bekal yang sangat terbatas. Atau kembali pulang dengan selamat.

Sore itu rupanya dewi Fortuna tidak berpihak kepada kita. Meski semuanya sudah siap diatas gethek namun mesin tidak bisa berbunyi hingga 30 menit. Sebagian dari kita pun sempat panik dan tidak sedikit dari kita yang berdoa. Menghilangkan kepanikan, Okto membuat tebak-tebakan untuk mengilangkan kepanikan. Sedangkan pak Usman, bekerja keras untuk berusaha menghidupkan mesin.

Sayangnya, mesinya pun tidak bisa hidup malahan mesinya mengeluarkan asap dan percikan api. Aku sudah berfikir untuk kemungkinan yang terburuk, bahwa harus menginap di hutan magrove dan harus kencangkan ikat pinggang. Karena, bekal yang sangat sedikit itu harus dibagui dengan banyak orang.

Kita pun berusaha untuk tidak panik. Sembari terus berdoa. Setelah, didiamkan beberapa saat dan dihidupkan kembali akhirnya gethek bisa hidup. Kita semua langsung bertepuk tangan. Saya pun bisa tersenyum kembali dan mengucap syukur. Wajah Pak Usman yang tadinya tegang dan tidak bisa tersenyum, sekarang bisa tersenyum lepas bahkan tertawa terbahak bahak melihat perahunya bisa dihidupkan lagi.

Diatas ombak yang pasang, Gethek berputar haluan, dan melanjutkan perjalanan kembali ke desa bloksolo. Selama perjalanan selain menikmati pemandangan mangrove kita juga melihat burung Elang laut perut putih (Haliaeetus Leucogaster) yang berterbangan di atas kita. Berbagai kekayaan keaneka ragaman tersimpan di hutan bedul. Tidak salah, rupanya aku mengatakan hutan mangrobe bedul sebagai surga dunia di Banyuwangi.

Tidak hanya itu, kita juga menyaksikan para nelayan mencari kerang dengan peralatan yang sangat sederhana. Mereka melambaikan tangan, ketika kita melewati mereka. Ombak pun semakin besar, gethek yang kita naiki nyaris terhempas ombak. Aku langsung memegang erat kameraku. Maklum, belum memiliki pelindung kamera anti air.

Selain melindungi kamera, tanganku saling berpegangan dengan Sri. Maklum, perahu gethek tidak memiliki pelindung seperti pelampung. Dan tidak semua, tim yang ikut perjalanan ini bisa berenang. Lagi – lagi, jantungku berdetak kencang namun semua itu sangat menyenangkan. Kita semua bisa menikmati perjalanan yang indah ini. Meski, adventure yang kita lakukan sangat menegangkan.

Sri salah satu tim langsung menangis histeris. Raut wajahnya langsung memerah dan air matanya langsung berlinang di pipi. Pasalnya, air sudah masuk kedalam gethek. Goyangan ombak begitu keras menghantam gethek. Pucat pasi, itulah wajahku saat itu. Namun, aku berusaha untuk tenang dengan memainkan kameraku dan mengabadikan semua yang kulihat dengan mataku.

Setelah ombak tidak lagi pasang, gethek berlabuh seperti biasanya. Dan akhirnya kita pun sampai di pantai Bedul. Setibanya disana, kita berjalan kaki untuk sampai di desa bloksolo. Air pasang setinggi lutut orang dewasa, kita pun berjalan dengan sangat hati-hati.

Suatu perjalanan yang sangat menegangkan sekaligus menyenangkan. Tx to Mr. Aekanu dan Dona Using 4 the Adventure.

21/08/10