24/05/11

Menapaki Bromo Seorang Diri


Perjalanan ku kali ini, merupakan suatu perjalanan yang tidak mungkin aku lupakan seumur hidupku. Seorang diri menapaki jalan terjaln menuju gunung bromo.
Gunung Bromo yang berasal dari bahasa sansekerta atau bahasa jawa kuno: Brahma, salah seorang Dewa utama Agama Hindu memiliki keunikan tersendiri. Sehingga aku tertarik untuk melakukan perjalanan ke sana. Touring menggunakan sepeda motor memang merupakan hobiku. Apalagi saat itu, aku memiliki motor baru.
Liburan kuliah, aku manfaatkan untuk menikmati keelokan gunung bromo yang sudah kubaca dari berbagai situs di internet. Sayangnya, teman teman kost ku tidak bisa bepergian denganku. Mereka pulang kampung, ada yang di Samarinda, Jakarta dan Pacitan. Maklum, liburan mereka pasti kangen masakan rumah.
Aku sempat berfikir untuk tidak berangkat, Karena tidak mungkin, aku berangkat seorang diri ke gunung bromo. Namun, keinginanku rupanya mengalahkan segala-galanya. Dan aku memutuskan untuk pergi seorang diri. Menaiki motor ku.
Berbekal peta, kompas, dan makanan ringan aku pun packing untuk melakukan perjalanan nekat ini. Sebelumnya, aku menservis motorku.
Sabtu pagi, di bulan April tepatnya tanggal 24 pukul 07.00, aku berangkat. Tidak lupa, jas hujan. Perjalanan menuju gunung bromo tidak mudah. Sesekali, aku berhenti istirahat. Tidak hanya, aku juga berkali kali bertanya kepada masyarakat jalan terdekat menuju bromo.
Dari Malang Tumpang – Gubuk Klakah – Jemplang – Tosari – Penanjakan. Berkilo-kilo, akhirnya siang hari aku pun sampai di gunung bromo. Rasa lelahku terbayarkan!! Aku tiba di Cemoro Lawang. Nama cemoro lawang tidak asing lagi bagi para wisatawan yang menyukai wisata gunung. Cemoro Lawang merupakan salah satu jalur untuk menuju ke Taman Nasional Gunung Bromo, Gunung Tengger, dan Gunung Semeru. Untuk menuju ke Cemoro Lawang bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor atau kendaraan umum seperti minibus dan colt bak terbuka. Pintu masuk kawasan Bromo berada di Desa Cemara Lawang (2.200 m di atas permukaan laut) merupakan titik terdekat dengan Bromo. Cemoro Lawang memiliki sarana pendukung antara lain hotel, toko-toko souvenir, persewaan jaket, persewaan jeep dan kuda.
Akhirnya, aku sudah berada di gerbang gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur . Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni kabupaten Probolinggo, Pasuruan,Lumajang , dan Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Maklum, backpacker. Aku pun mencari penginapan dengan harga yang terjangkau. Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keliling bromo. Dan Cemoro Lawang, aku dapat melihat pemandangan Gunung Bromo dan Gunung Batok yang diselimuti kabut serta hamparan lautan pasir yang begitu luas. Bila menuju ke Kawah Gunung Bromo melalui jalur Cemoro Lawang, wisatawan tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan pribadi. Beberapa transportasi yang ditawarkan di Cemoro Lawang untuk menuju ke Bromo antara lain dengan menggunakan jeep, kuda, dan ojek sepeda motor. Aku suka tanntangan dan aku berjalan kaki menuju ke Gunung Bromo melewati padang pasir dan bila menuju ke Puncak Pananjakan terdapat jalur jalan kaki yang ditempuh selama 4 jam.
Perjalanan bertambah berat dengan melewati lautan pasir, matahari tepat berada diatas kepala terasa sangat membakar kulit. Berbeda dengan angin di padang rumput yang terasa panas, udara di padang pasir terasa dingin.
Jalur Jip yang semula terlihat dipadang rumput kini mulai menghilang di lautan pasir, terpaksa aku sendiri jalan yang harus ditempuh. Beruntung sekali tidak ada awan atau kabut sehingga arah jalur dapat diperkirakan.
Semakin menapak ke lautan pasir kaki terasa agak berat melangkah, jalan yang ditempuh adalah mengeliling gunung bromo dari belakang, sehingga agak membingungkan. Dari kejauhan tampak badai pasir yang bergulung-gulung menjulang ke atas. Aku pun segera beristirahat.
Menuju puncak Gunung Bromo ditengah hari yang sangat panas ini cukup melelahkan. Mendekati puncak bromo sudah tercium bau belerang.
Dari puncak bromo tampak kawah Gunung Bromo yang masih aktif , di dasar kawah terlihat warna keemasan belerang dan kepulan asap putih yang menjulang ke atas, menyebarkan bau belerang.
Aku harus menaiki anak tangga yang berjumlah 250 buah untuk menuju puncak Gunung Bromo . Udara dingin dan rendahnya kadar oksigen pada tempat yang tinggi membuat tubuh ku cepat lelah. Akhirnya aku tiba di puncak Gunung Bromo dan bisa menyaksikan kawah Gunung Bromo.
Aku pun meminta tolong wisatawan disana untuk memotretku memakai kamera hp. Sayangnya, film perjalananku seorang diri di Bromo hilang waktu aku selesai kuliah.
Sementara itu, menurut mitos asal usul suku tengger. Dahulu di pulau Jawa di perintah oleh Raja Brawijaya dari Majapahit yang mempunyai anak perempuan bernama Rara Anteng yang menikah dengan Joko Seger, keturunan Brahmana. Ketika terjadi pergolakan di pulau Jawa, sebagian masyarakat yang setia pada agama Hindu melarikan diri ke pulau Bali. Sebagian lainnya menarik diri dari dunia keramaian dan bermukim di sebuah dataran tinggi di kaki Gunung Bromo, dipimpin oleh Roro Anteng dan Joko Seger, jadilah mereka suku Tengger, kependekan dari AnTeng dan SeGer.
Perjalanan yang menyenangkan sekali. Mendapatkan pengalaman dengan melakukan perjalanan seorang diri. Warga tengger yang ramah, warga penyewa kuda yang sangat baik membantu ku dan alam yang sungguh indah. Bromo.