25/05/11

In Memoriam Pembuat Kamus Bahasa Using Hasan Ali


Hasan Ali seorang budayawan Banyuwangi yang getol melestarikan budaya dan bahasa Banyuwangi yakni Bahasa Using. Memasuki usianya yang ke 76, dia harus berjuang keras melawan penyakit kencing manis yang sudah dia derita 20 tahun yang menyebabkan kebutaan, paru – paru dan ginjal yang sudah satu tahun diidapnya.

Rumah yang terletak di Desa Mangir kecamatan Rogojampi, tampak sepi. Pintu pagar berwarna hijau itu tertutup rapat. Jarum jam menunjukkan pukul 09.00. Begitu memasuki rumah tersebut, tampak beberapa buku di meja ruang tamu.
Komputer bantuan Jepang tahun 2000 silam, tertutup rapi di dekat meja kerjanya. Televisi berukuran 21 inci itu tampak menyala. Namun, ruang tamu itu tampak kosong. Tidak ada satu orang pun yang menyaksikan televisi tersebut. Di depan pintu kamar berwarna coklat, tampak sebuat tulisan ’Hadir dan Mengalir’ dibawah tulisan tersebut ada tanda tangan WS. Rendra 1998. Di dalam kamar itulah, kini Hasan Ali, 76, berbaring lemas.
Menggunakan kaos berwarna putih dan celana pendek, dia berbaring seorang diri. Kulit kaki dan tangannya yang sangat keriput hanya terbalut dengan kain sarung bermotif kotak – kotak. Di samping tempat tidurnya, terlihat kursi roda. Di meja kecil, terdapat berbagai obat – obatan. Begitu wartawan koran ini masuk dan duduk disampingnya, Hasan Ali langsung terbangun. ’’Siapa itu,’’ katanya sambil membuka matanya meski tidak bisa melihat.
Begitu wartawan koran ini, bersalaman denganya dan menyampaikan maksud kedatangan dia tampak bersemangat. Meski pun, berbicaranya dengan terpatah – patah.
Maklum, selama satu tahun dia harus melawan penyakit kencing manis yang 20 tahun lalu dia derita hingga menyebabkan kebutaan. Kebutaan itu membuat pria kelahiran 3 Desember 1933 itu sangat terpukul. Karena, hobinya dulu adalah membaca. Bahkan, koleksi buku yang dimilikinya berjumlah ribuan dan sampai saat ini masih tersimpan rapi di dalam beberapa lemari yang terletak di salah satu kamar di rumahnya.
Berobat di berbagai Rumah Sakit pun sudah dia lakoni. Hingga berobat ke RS Dr. Soetomo Surabaya. Namun, semuanya sia- sia. Dan di masa tuanya kini, dia harus bertahan dengan kebutaan yang dia alami. ’’Siksaan yang paling berat buat saya adalah kebutaan ini,’’ katanya.
Meski buta, namun budayawan Banyuwangi itu tidak lantas menyerah begitu saja. Dia selalu mendengarkan radio terkait perkembangan budaya di Banyuwangi. Karena, sejak usia belasan tahun dia sudah menyukai budaya dan seni Banyuwangi. Saat itu, dia sudah memiliki grup musik.
Hingga lulus di bangku SMA, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Airlangga fakultas hukum. Namun, keterbatasan biaya mengharuskan dia berhenti di tahun 1959. Meski tidak bisa melanjutkan pendidikanya, namun dia terus mempelajari dan menekuni kesenian dan kebudayaan daerah Banyuwangi, khususnya dalam bidang Bahasa Using. Dialah yang menyusun pedoman umum ejaan bahasa using, tata bahasa baku bahasa using. Hingga dia berhasil menciptakan kamus Bahasa Using.
Masyarakat Banyuwangi mengenal sosok Hasan Ali adalah orang yang tak kenal lelah dalam upaya mengangkat derajat dan harkat Bahasa Using. Semasa sehat dulu, dia menjadi pemprakarsa Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan menjadi ketua DKB selama 20 tahun berturut – turut.
Kedekatanya dengan masyarakat Using membuat, dia mendapatkan julukan Kamus Berjalan Budaya. Hingga berbagai penghargaan dia terima, hadiah seni jawa Timur sebagai pembina kesenian daerah oleh Kakanwil Depdikbud Jawa Timur tahun 1978, Hadiah seni sebagai pembina kesenian dan kebudayaan daerah oleh pemkab tahun 1997, Penghargaan dari gubernur Jawa Timur Imam Utomo sebagai penggerak Kesenian tahun 2000 dan berbagai kegiatan kesenian baik lokal, regional maupun nasional.
Seluruh penghargaan itulah yang menjadi kekuatan Hasan Ali hingga saat ini. Yang dulunya setiap hari bisa menulis dan menulis, saat ini setiap hari dia hanya mengkonsumsi puluhan obat – obatan. Untunglah, untuk makan dia tidak mengalami kesulitan. Kesukaanya, mengkonsumi kopi tidak bisa dia hilangkan hingga kini. ’’Paling satu hari, hanya satu gelas kecil. Tombo kepengen,’’ katanya.
Anjuran dari dokter, tetap dia lakukan. Misalnya, menjaga makanan dan meminum obat. Mengikuti perkembangan seputar budaya dan kesenian Banyuwangi , menurutnyam, adalah obat yang paling mujarab. ’’Kalau bisa budaya dan seni Banyuwangi tetap dipertahankan. Hal itulah yang membuat suatu daerah dikenal,’’ katanya.
Dia berharap kesenian dan kebudayaan Banyuwangi bisa tetap maju, apalagi keikuit sertaan generasi muda harus bisa membantu terwujudnya hal tersebut. Selain itu, Pemimpin Banyuwangi harus memahami dan mengerti budaya Banyuwangi. ’’Bagaimana caranya memimpin, kalau tidak mengenal budaya Banyuwangi,’’ katanya saat itu.
Sekarang kakekku, sekaligus panutanku itu sudah tiada. Meninggalkan kami semua, meninggalkan semua yang telah dia lakukan untuk tanah kelahiran kami. Blambangan. Kakek, hingga saat ini kami dan BLAMBANGAN masih membutuhkanmu. Masih menginginkanmu untuk tetap berada di tengah tengah kita. Tapi, Takdir berkata lain. Engkau telah pergi, Ilmumu pasti sangat berarti bagi BANYUWANGI dan kita semua. Semoga Amal ibadahmu diterima disisiNYA. Amin