18/05/11

Pendakian Indah di Gunung Ijen



Gunung merupakan salah satu tempat favoritku sejak kecil. Terlahir dari orang tua yang sangat mencintai alam. Aku pun dikenalkan, gunung Ijen yang terletak di dekat tempat lahirku. Sejak saat itu, setiap liburan masa kuliah aku selalu menyambangi gunung Ijen yang selalu membuatku jatuh cinta.

Perjalanan menuju Ijen, aku bersama tujuh orang kawanku yang tergabung dalam Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi Malang (KPMBM) tidak mudah. Berangkat dari Banyuwangi kami menaiki mobil hartop. Cuaca saat itu, sangat tidak bersahabat. Beberapa bulan ini, mendung dan hujan selalu menyelimuti Banyuwangi. Gunung Ijen pun selalu mendung. Keelokan dan kecantikan kawahnya tertutup mega.

Namun demikian, kami tetap memutuskan untuk berangkat ke gunung ijen. Dengan perbekalan yang cukup, kami melanjutkan perjalanan pukul 14.00.

Jalan akses dari Banyuwangi ke gunung ijen masih banyak jalan yang lubang dan berbatu. Namun, bisa dilewati berbagai jenis kendaraan. Bahkan kendaraan roda 2 dapat dengan mudah melewatinya. Hal itu karena jalan disepanjang pintu masuk yang berada di desa jambu ke kawasan wisata gunung ijen sampai dengan pos terakhir di Paltuding sudah beraspal.

Jarak yang kami tempuh kurang lebih 45 km. Dari Jambu perjalanan dilanjutkan menuju Paltuding. Paltuding merupakan Pintu gerbang utama ke Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen, yang juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam).

Kami pun tiba di Gunung Ijen, yang menyimpan seribu keindahan. Kawah ijen yang berada di ketinggian 2.386m dpl, merupakan kawah danau terbesar dipulau jawa, kawah berbentuk ellips dengan ukuran kurang lebih 960 x 600 m dengan ketinggian permukaan air danau kurang lebih 2140 m dpl dengan kedalaman danau kurang lebih 200 m.

Kawah belerang berada dalam sulfatara yang dalam. Kedalamannya 200 m dan mengandung kira-kira 36 juta meter kubik air asam beruap, diselimuti kabut berbau belerang yang berputar-putar diatasnya. Didalam kawah, berbagai warna dan ukuran batu belerang dapat ditemukan. Sungguh, kawah ijen merupakan taman batu belerang yang indah.

Pemandangan menjadi sangat berbeda, ketika dari celah celah tebing curam terlihat begitu banyak para penambang belerang yang naik turun di sela-sela lereng kawah. Sekitar kurang lebih 100 orang membawa bebatuan kekuning-kuningan yang diatas pundaknya terlentang sebatang bambu dengan sejenis keranjang bambu yang dipenuhi puluhan kilogram belerang didalamnya yang tergantung disisi kanan kirinya.

Beban yang dipikul memiliki berat yang beragam mulai 80 kg sampai dengan 120 Kg. tiap orang mondar-mandir, menggali belerang, naik turun, menuruni lereng beberapa kilometer sebelum beban dijual dipelelangan, dalam sehari dapat terkumpul belerang berkisar 6 sampai 7 ton. Namun, mereka tidak pernah mengeluh sedikitpun. Mereka terus bekerja, walau resiko yang mereka terima cukup besar. Demi sesuap nasi, mereka sudah bertahun tahun bekerja sebagai penambang belerang.

Setelah beristirahat, kami mendirikan tenda. Sambil menunggu tengah malam tiba. Sayangnya, dua temanku Titis dan Wiwit tidak bisa ikut naik ke puncak gunung ijen. Titis mengalami kram perut.

Kami pun mempersiapkan perbekalan untuk mendaki puncak gunung ijen 2.386m dpl. Setelah makan di warung langganan para penambang belerang dan mendaftar di kantor pengelola Kawah Ijen, kami langsung trekking ke Kawah Ijen. “3 km by foot,” begitu tertulis di Pos Paltuding.

Tepat pukul 01.00 dini hari kami bersiap. Aku pun sudah mempersiapkan ranselku. Jaket kuning merupakan jaket favoritku ketika menaiki gunung. Warna cerah, sangat menguntungkan lho. Ketika kita tersesat di dalam hutan.

Pendakian malam itu, ternyata tidak mudah. Cuaca sangat tidak bersahabat. Impianku untuk menyaksikan sunset musnahlah sudah. Dari Paltuding berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 3 km. Lintasan awal sejauh 1,5 km cukup berat karena menanjak.

Sebagian besar jalur dengan kemiringan 25-35 derajat. Selain menanjak struktur tanahnya juga berpasir sehingga menambah semakin berat langkah kaki karena harus menahan berat badan agar tidak merosot ke belakang.

Perlahan kami berjalan menyusuri jalan tanah lebar yang menghubungkan Paltuding-Kawah Ijen. Nafas saya tersengal-sengal karena sudah lama tidak trekking. Jogging dan renang juga sudah lama tidak kulakukan. Namun tidak begitu halnya dengan para penambang belerang. Semua penambang yang berpapasan dengan saya, baik sedang naik ataupun turun, melangkah dengan mantap. Napasnya sestabil langkahnya. Padahal mereka turun sambil memikul dua buah keranjang yang penuh oleh bongkah belerang.

Setelah sempat beristirahat sebentar di Pos Bunder, dalam waktu dua jam kami sampai di bibir kawah. Akhirnya, kami pun tiba di dan beristirahat di Pos Bunder ( pos yang berbentuk lingkaran) yang dibangun masa pemerintah Hindia Belanda berbentuk setengah lingkaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut bunder sehingga dinamakan pos Bunder.

Kami tidak bisa menyaksikan pemandangan deretan pegunungan yang sangat indah. Untuk turun menuju ke kawah harus melintasi medan berbatu-batu yang lumayan terjal sejauh 250 meter. Terpeleset dan jatuh, menjadi santapanku. Licin!!!!

Tapi aku tetap semangat untuk mendaki gunung ijen. Tidak bertemu sunset, tidak masalah yang penting hasratku untuk menyambangi ijen sudah terlaksana. Bunga edelweis juga dapat ditemui di sepanjang bulan juli sampai September. Sayangnya, bunga abadi ini tidak kulihat karena cuaca pagi itu sangat gelap.

“Tidak bisa turun ke kawah, Dek,” ujar salah seorang penambang ketika tadi berpapasan di tikungan terakhir.

“Asap belerangnya terlalu tebal.”teriak salah satu penampang belerang.

Peringatan dari penambang itu tidak saya hiraukan. Bukan apa-apa, aku kangen sekali dengan harum kawan Ijen. Sekedar kabut, dan asap belerang tebal tidak akan mampu menghalangi keinginan kami untuk melihat ijen dari dekat.

Tidak hanya itu, kamera yang kubawa juga nyaris rusak karena terlalu dingin. Aku pun berdiam diri sambil memegangi baterai kameraku. Dan terus berdoa supaya kamera pocketku bisa digunakan. Pastinya, untuk mengabadikan perjalanan indah ini.

Badai dan hujan deras tidak menyurutkan niat kami untuk turun kekawah. Sambil menunggu hujan reda. Kami menunggu di dalam pos bunder. Disana kami bertemu dengan para pendaki. Bersahabatan, bisa dimulai dimana saja dan kapan saja.

Perjalanan indah, bersama Dadang, Doni, Datu dan Agus.

Pendakian yang mengajarkan kami untuk mencintai alam semesta raya. Gunung Ijen, kami akan selalu mengingat keindahanmu.